Kamis, 09 Agustus 2012

lock heart part 1


1.    Pertemuan pertama

Aku melihatnya ketika berada di rumah pamanku pertama kali. Waktu itu aku masih berumur sekitar sebelas atau dua belas tahun. Entahlah, aku tidak dapat mengingatnya dengan jelas. Kebetulan hari itu aku ingin jalan-jalan karena kebetulan juga aku baru saja pindah ke kota ini. Dan ketika aku menunggui sepupuku untuk menemaniku menuju pasar swalayan, dia datang dengan memakai seragam putih abu-abu. Dia melewatiku tanpa senyum, dengan wajah serius dengan ransel yang berada di sebelah bahunya. Tangannya memegang ransel tersebut sehingga secara tidak langsung ranselnya itu melekat di tangannya, bukan bahunya. Waktu itu aku masih pemalu, jangankan untuk menyapanya, melihatnya saja aku tidak berani. Bagiku wajahnya terlalu menakutkan sehingga aku hanya menunduk sambil bergeser dari tangga yang akan dia lewati. Aku tengah duduk di anak tangga ketiga ketika dia datang.
“Ayo pergi, kita naik becak ya.” Ucap sepupuku datang mengagetkanku yang tengah memperhatikan dia berjalan menuju kamarnya.
“Iya kak Lia.” Jawabku dengan suara senang. Aku kemudian langsung melupakan dia dalam sekejab karena tau akan segera menuju pasar swalayan. Aku sudah dapat membayangkan apa yang bisa aku dapatkan di pasar tersebut.
“Kamu mau beli apa Lusi?” Tanya kak Lia padaku ketika kami telah menaiki becak menuju pasar Swalayan.
“Aku mau beli jepitan dengan ikat rambut kak. Dan tadi papa juga berpesan untuk membeli buku. Besok itu hari pertamaku sekolah. Ah, hampir lupa kak! Mama juga tadi berpesan untuk membeli seragam SMP karena lusa aku sudah masuk SMP dan memulai hari pertama.” Ucapku cerewet yang disertai dengan tingkah anak-anak yang masih alami.
“Oke!” Ucap kak Lia setelah aku berkata panjang lebar seperti itu.
Kami terus bercanda dan bersenda gurau selama perjalanan dari rumah menuju pasar swalayan. Dan ketika kami sampai, kak Lia yang membayar becak tersebut. Aku tau apa? Bahkan itu adalah pengalaman pertamaku menggunakan becak.
“Cari seragam SMP dulu ya, karena itu yang paling dekat.” Ucap kak Lia. Aku hanya mengangguk untuk menyahuti apa yang dikatakan kak Lia. Dengan anggukan penuh semangat, dan wajah tersenyum ceria seperti biasanya.
Dan akhirnya kami masuk ke salah satu ruko yang berada di seberang jalan pasar Swalayan. Penjaga took seragam tersebut muali membuka baju satu persatu untuk mengukur tubuhku, ukuran mana yang paling cocok.
“Ya ampun Dek, tubuhmu kecil sekali. Tidak seragam yang cocok untukmu. Untuk ukuran”
“Masa sih Mbak gak ada? Ukuran S gimana?” Tanya kak Lia dengan raut cemas.
“Iya mbak, memang tidak ada yang pas. Untuk ukuran S agak cocok sih, hanya saja lengannya kependekan untuk dia. Untuk ukuran M dia pas, namun tubuhnya terlalu kecil lagi untuknya.” Kali ini penjaga Swalayan berkilah.
“Lusi, menurutmu seragam mana yang pas untuk kamu?” Tanya Kak Lia padaku. Aku menunjuk seragam berukuran M, karena menurutku hanya itu yang baik untuk tubuhku. Walaupun agak kebesaran, namun itu lebih baik dibandingkan aku memakai seragam yang sangat ketat memeluk tubuhku.
Dan akhirnya aku diberikan seragam yang telah aku pilih, kemudian kami berdua masuk kedalam pasar untuk mencari apa yang aku inginkan tadi sewaktu berada diatas becak tadi.
Setelah itu semua yang ingin aku beli telah lengkap. Aku pulang dari pasar dengan wajah senang seperti aku berangkat tadi. Sementara kak Lia sibuk dengan telepon selulernya, aku hanya tersenyum senang dan bersenandung gembira sambil membawa barang-barang yang telah aku beli. Kami menuju rumah menggunakan becak kembali.
“Habis belanja ya?” Tanyanya.
“Iya. Habis nganterin Lusi belanja peralatan. Dia kan udah mau masuk SMP, jadi mesti pakai seragam baru.” Jawab kak Lia ketika tiba di dalam rumah.
“Dia siapa kak?” Tanyaku pada kak Lia sebelum memasuki pintu. Dia menyapa kak Lia lewat beranda lantai dua.
“Kamu belum mengenalnya ya? Dia Sandi. Dia juga sepupumu loh.”
“Kak Sandi? Sudah SMA ya kayak kak Lia?”
“Salah, aku baru saja mau masuk SMA sementara dia sudah mau naik kelas dua.” Jelas kak Lia lagi. Aku hanya mengangguk seakan mengerti, aku tau pasti bahwa dia lebih tua dari kak Lia.
Akhirnya penerimaan siswa baru SMP 1 Mamuju telah selesai. Masa orientasi sekolah pun telah selesai aku jalani. Beberapa siswa baru yang sekelas denganku pun telah aku kenal, namun beberapa seringkali aku salah mengenalinya. Tapi semua itu tidak masalah buatku, yang jelas aku sudah memiliki beberapa teman. Bersyukurlah diriku karena memiliki sifat cerewet dan suka bersosialisasi seperti ini.
***
“Nenek, nenek lagi apa? Boleh aku membantu nek?” ucapku menawarkan diri ketika melihat nenek tercintaku tengah berbenah di dapur.
“Gak usah Cu. Sebaiknya kamu duduk saja, bermain Barbie atau apapun. Kan masih ada Ayu dan Sita yang membantu nenek di dapur.” Ucap nenek mencoba mengusirku.
“Iya Lusi, sebaiknya pergi main saja, kalau kamu disini kerjaanmu hanya mengganggu saja, dan akhirnya kerjaan dapur gak selesai-selesai.” Ucap kak Sita menyetujui ucapan nenek disertai dengan beberapa tambahan argument yang membenarkan aku untuk tidak bergabung dengan mereka.
“Tapi kan kak, nek, aku juga ingin belajar memasak.”
“Masih belum waktunya Cu. Sebaiknya pergi saja main ya. Ayu, ajak adikmu main ya.” Ucap nenek lagi membantah argumenku. Belum waktunya? Ya ampun, aku sudah berumur 12 tahun, sudah pantas untuk membantu di dapur dan sudah waktunya aku belajar. Tapi kenapa aku tetap saja di tentang sih?
“Lusi, ayo main.” Ucap kak Ayu. Aku hanya menurut, jiwa polos anak-anakku masih melekat dengan baik. Sehingga aku langsung melupakan apa yang telah dilakukan oleh mereka semua, menyuruhku untuk menyingkir.
Kak Ayu adalah salah satu penghuni dalam rumah nenekku ini. Sama seperti yang lainnya, aku juga menumpang di rumah ini, di rumah nenekku. Mama menyuruhku untuk lebih dulu pindah sebelum mama pindah ke kota ini. Adikku yang laki-laki masih mengikuti mama dan papa karena mama dan papa masih berada di kampung. Kak Ayu  adalah kakak kelasku, dia sudah kelas tiga sementara aku masih kelas satu. Dan disekolah dia selalu menyempatkan diri untuk melihatku melakukan aktifitasku, yang jika aku fikir-fikir tidak perlu dia lakukan. Dia sangat perduli denganku.
Menurutku kak Ayu sangat cantik, gerakannya juga gemulai. Walaupun begitu dia tidak terlalu lambat seperti kebanyakan gadis gemulai. Dia sangat gesit, dan juga termasuk dalam kategori pintar dan disegani serta disukai oleh orang-orang yang ada disekolah. Baik itu guru-guru, ataupun murid yang ada di sekolah ini. Adik kelas maupun teman kelas. Dia juga sangat ramah dengan yang lainnya. Aku bangga serumah dengan gadis berprestasi seperti kak Ayu. Walaupun begitu dia lemah dalam olahraga. Aku tidak begitu tau dengan kak Sita, namun satu hal yang aku yakini benar adanya, adalah dia oahragawan di sekolahnya juga.