1.
Pertemuan pertama
Aku
melihatnya ketika berada di rumah pamanku pertama kali. Waktu itu aku masih
berumur sekitar sebelas atau dua belas tahun. Entahlah, aku tidak dapat
mengingatnya dengan jelas. Kebetulan hari itu aku ingin jalan-jalan karena
kebetulan juga aku baru saja pindah ke kota ini. Dan ketika aku menunggui
sepupuku untuk menemaniku menuju pasar swalayan, dia datang dengan memakai
seragam putih abu-abu. Dia melewatiku tanpa senyum, dengan wajah serius dengan
ransel yang berada di sebelah bahunya. Tangannya memegang ransel tersebut
sehingga secara tidak langsung ranselnya itu melekat di tangannya, bukan
bahunya. Waktu itu aku masih pemalu, jangankan untuk menyapanya, melihatnya
saja aku tidak berani. Bagiku wajahnya terlalu menakutkan sehingga aku hanya
menunduk sambil bergeser dari tangga yang akan dia lewati. Aku tengah duduk di
anak tangga ketiga ketika dia datang.
“Ayo
pergi, kita naik becak ya.” Ucap sepupuku datang mengagetkanku yang tengah
memperhatikan dia berjalan menuju kamarnya.
“Iya
kak Lia.” Jawabku dengan suara senang. Aku kemudian langsung melupakan dia
dalam sekejab karena tau akan segera menuju pasar swalayan. Aku sudah dapat
membayangkan apa yang bisa aku dapatkan di pasar tersebut.
“Kamu
mau beli apa Lusi?” Tanya kak Lia padaku ketika kami telah menaiki becak menuju
pasar Swalayan.
“Aku
mau beli jepitan dengan ikat rambut kak. Dan tadi papa juga berpesan untuk
membeli buku. Besok itu hari pertamaku sekolah. Ah, hampir lupa kak! Mama juga
tadi berpesan untuk membeli seragam SMP karena lusa aku sudah masuk SMP dan
memulai hari pertama.” Ucapku cerewet yang disertai dengan tingkah anak-anak
yang masih alami.
“Oke!”
Ucap kak Lia setelah aku berkata panjang lebar seperti itu.
Kami
terus bercanda dan bersenda gurau selama perjalanan dari rumah menuju pasar
swalayan. Dan ketika kami sampai, kak Lia yang membayar becak tersebut. Aku tau
apa? Bahkan itu adalah pengalaman pertamaku menggunakan becak.
“Cari
seragam SMP dulu ya, karena itu yang paling dekat.” Ucap kak Lia. Aku hanya
mengangguk untuk menyahuti apa yang dikatakan kak Lia. Dengan anggukan penuh
semangat, dan wajah tersenyum ceria seperti biasanya.
Dan
akhirnya kami masuk ke salah satu ruko yang berada di seberang jalan pasar
Swalayan. Penjaga took seragam tersebut muali membuka baju satu persatu untuk
mengukur tubuhku, ukuran mana yang paling cocok.
“Ya
ampun Dek, tubuhmu kecil sekali. Tidak seragam yang cocok untukmu. Untuk
ukuran”
“Masa
sih Mbak gak ada? Ukuran S gimana?” Tanya kak Lia dengan raut cemas.
“Iya
mbak, memang tidak ada yang pas. Untuk ukuran S agak cocok sih, hanya saja
lengannya kependekan untuk dia. Untuk ukuran M dia pas, namun tubuhnya terlalu
kecil lagi untuknya.” Kali ini penjaga Swalayan berkilah.
“Lusi,
menurutmu seragam mana yang pas untuk kamu?” Tanya Kak Lia padaku. Aku menunjuk
seragam berukuran M, karena menurutku hanya itu yang baik untuk tubuhku.
Walaupun agak kebesaran, namun itu lebih baik dibandingkan aku memakai seragam
yang sangat ketat memeluk tubuhku.
Dan
akhirnya aku diberikan seragam yang telah aku pilih, kemudian kami berdua masuk
kedalam pasar untuk mencari apa yang aku inginkan tadi sewaktu berada diatas
becak tadi.
Setelah
itu semua yang ingin aku beli telah lengkap. Aku pulang dari pasar dengan wajah
senang seperti aku berangkat tadi. Sementara kak Lia sibuk dengan telepon
selulernya, aku hanya tersenyum senang dan bersenandung gembira sambil membawa
barang-barang yang telah aku beli. Kami menuju rumah menggunakan becak kembali.
“Habis
belanja ya?” Tanyanya.
“Iya.
Habis nganterin Lusi belanja peralatan. Dia kan udah mau masuk SMP, jadi mesti
pakai seragam baru.” Jawab kak Lia ketika tiba di dalam rumah.
“Dia
siapa kak?” Tanyaku pada kak Lia sebelum memasuki pintu. Dia menyapa kak Lia
lewat beranda lantai dua.
“Kamu
belum mengenalnya ya? Dia Sandi. Dia juga sepupumu loh.”
“Kak
Sandi? Sudah SMA ya kayak kak Lia?”
“Salah,
aku baru saja mau masuk SMA sementara dia sudah mau naik kelas dua.” Jelas kak
Lia lagi. Aku hanya mengangguk seakan mengerti, aku tau pasti bahwa dia lebih
tua dari kak Lia.
Akhirnya
penerimaan siswa baru SMP 1 Mamuju telah selesai. Masa orientasi sekolah pun
telah selesai aku jalani. Beberapa siswa baru yang sekelas denganku pun telah
aku kenal, namun beberapa seringkali aku salah mengenalinya. Tapi semua itu
tidak masalah buatku, yang jelas aku sudah memiliki beberapa teman.
Bersyukurlah diriku karena memiliki sifat cerewet dan suka bersosialisasi
seperti ini.
***
“Nenek,
nenek lagi apa? Boleh aku membantu nek?” ucapku menawarkan diri ketika melihat
nenek tercintaku tengah berbenah di dapur.
“Gak
usah Cu. Sebaiknya kamu duduk saja, bermain Barbie atau apapun. Kan masih ada
Ayu dan Sita yang membantu nenek di dapur.” Ucap nenek mencoba mengusirku.
“Iya
Lusi, sebaiknya pergi main saja, kalau kamu disini kerjaanmu hanya mengganggu
saja, dan akhirnya kerjaan dapur gak selesai-selesai.” Ucap kak Sita menyetujui
ucapan nenek disertai dengan beberapa tambahan argument yang membenarkan aku
untuk tidak bergabung dengan mereka.
“Tapi
kan kak, nek, aku juga ingin belajar memasak.”
“Masih
belum waktunya Cu. Sebaiknya pergi saja main ya. Ayu, ajak adikmu main ya.”
Ucap nenek lagi membantah argumenku. Belum waktunya? Ya ampun, aku sudah
berumur 12 tahun, sudah pantas untuk membantu di dapur dan sudah waktunya aku
belajar. Tapi kenapa aku tetap saja di tentang sih?
“Lusi,
ayo main.” Ucap kak Ayu. Aku hanya menurut, jiwa polos anak-anakku masih
melekat dengan baik. Sehingga aku langsung melupakan apa yang telah dilakukan
oleh mereka semua, menyuruhku untuk menyingkir.
Kak
Ayu adalah salah satu penghuni dalam rumah nenekku ini. Sama seperti yang
lainnya, aku juga menumpang di rumah ini, di rumah nenekku. Mama menyuruhku
untuk lebih dulu pindah sebelum mama pindah ke kota ini. Adikku yang laki-laki
masih mengikuti mama dan papa karena mama dan papa masih berada di kampung. Kak
Ayu adalah kakak kelasku, dia sudah
kelas tiga sementara aku masih kelas satu. Dan disekolah dia selalu
menyempatkan diri untuk melihatku melakukan aktifitasku, yang jika aku
fikir-fikir tidak perlu dia lakukan. Dia sangat perduli denganku.
Menurutku
kak Ayu sangat cantik, gerakannya juga gemulai. Walaupun begitu dia tidak
terlalu lambat seperti kebanyakan gadis gemulai. Dia sangat gesit, dan juga
termasuk dalam kategori pintar dan disegani serta disukai oleh orang-orang yang
ada disekolah. Baik itu guru-guru, ataupun murid yang ada di sekolah ini. Adik
kelas maupun teman kelas. Dia juga sangat ramah dengan yang lainnya. Aku bangga
serumah dengan gadis berprestasi seperti kak Ayu. Walaupun begitu dia lemah
dalam olahraga. Aku tidak begitu tau dengan kak Sita, namun satu hal yang aku
yakini benar adanya, adalah dia oahragawan di sekolahnya juga.